CN, JAKARTA - Kasus pelanggaran hukum di Indonesia cukup memprihatinkan. Bayangkan, kasus hukum juga melibatkan oknum penegak hukum dari Kepolisian, Jaksa hingga Hakim Agung.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Borobudur, Faisal Santiago menyebutkan perlu mereformasi total di tubuh institusi penegak hukum. Istilah "Bedol Desa" pun ia sampaikan melihat persoalan yang selalu melibatkan oknum penegak hukum.
"Hari ini kita berbicara adalah reformasi hukum karena kita memang adalah negara hukum salah satu cirinya negara hukum. Apa yang terjadi saat ini begitu luar biasa. Jadi saya sekali lagi kalau berbicara reformasi hukum ya saya kembali lagi kepada pelajaran di masa-masa SMP 'Bedol Desa', ganti semuanya. Caranya gimana nah itu perlu kita pikirkan bersama," kata Faisal dalam diskusi bertema Reformasi Total Sebagai Negara Hukum Guna Menyelematkan NKRI, di Hotel 88, Jakarta, pada Kamis (01/12/2022).
Lebih lanjut Faisal Santiago mempertanyakan, kasus melibatkan suap Hakim Agung, Ferdy Sambo yang sempat menjabat Kadiv Propam, Teddy Minahasa dan sempat beberapa Jaksa menerima suap, yang salah siapa.
"Pertanyaannya sederhana yang salah lembaganya atau orang yang ada di dalamnya?, siapa yang mau kita salahkan atau kita kembali lagi darimana kita mulai membenahinya. Apakah sistem yang salah? buktinya orang baik masuk dalam sistem yang tidak baik orang itu menjadi tidak baik. Buktinya ada sistemnya yang tidak baik tetapi kalau memang orang itu adalah orang yang baik maka dia bisa mengubah sistem yang korup," tegas Faisal Santiago.
Sementara itu, Mantan Hakim Agung, Prof. Dr. Gayus Lumbuun memaparkan, masyarakat diminta juga untuk melihat persoalan hukum hari ini. Mulai dari Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim. Namun Gayus lebih fokus bicara tentang Hakim atau Peradilan.
"Kalau kita bicara hukum tentu kita bicara kepada tujuan hukum itu yang bisa membuat masyarakat ini tertib dengan pengaturan dan penegakannya tapi bagaiman kalau ketertibannya diharapkan melalui keputusan peradilan itu mengecewakan. Bahkan Hakim Agung juga terseret dua orang yaitu artinya lambang dari Penegakan Hukum yang di agungkan ini sudah tidak Agung lagi," tegas Gayus.
Bagaimana investor sambung Lumbun, akan berani melakukan kegiatan pembangunan. Investor akan terganggu, mereka kuatir kalau mereka melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia tentu akan berpotensi terjadi konflik di bidang hukum. Hal ini tidak bisa memberi jaminan.
Gayus menyampaikan jelas bagaimana putusan yang diambil oleh hakim yang bermasalah dan indikasi terima suap memutus lima tahun (Hakim Agung Gazalba Saleh) diindikasikan menerima uang, putusannya indikasi jual-beli, kalau melalui jalur prosedur yaitu peninjuan kembali atau PK tentu tidak sesuai harapan.
"Kalau kita bicara kepada mekanisme yang normal tunggu PK saja, tentu PK tidak bisa menambah hukuman. Nah kalau ini 5 tahun (putusan hasil suap) artinya kan bisa lebih dari 5 tahun mestinya, nah bagaimana kita akan menambah tidak bisa," tegasnya.
Untuk itu Gayus menyarankan agar di ulang sidang. Ketua Mahkamah Agung punya hak menurut ketentuan pada undang-undang 48 tahun 2009, tentang kekuasaan peradilan.
"Pimpinan Mahkamah Agung bisa menunda, bentuk majelis baru," paparnya.
Menurut Gayus, sikap yang perlu diambil Ketua MA bukan tanpa dasar hukum. Sebagai ketua pengawas internal, Ketua MA berwenang menunda suatu putusan. Penundaan bisa diberlakukan hingga dugaan jual-beli perkara yang diusut menjadi jelas.
Selama putusan ditunda, maka terdakwa tetap menjalani kondisi saat ini.
Gayus mencontohkan, ketika putusan kasasi dijatuhkan terdakwa sedang ditahan, maka ia akan tetap berada di dalam kurungan.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menambahkan dari sisi kasus hukum yang masih melibatkan perempuan sebagai korban.
Isu kekerasan berbasis gender dan hak asasi perempuan dalam konteks negara hukum tentu ini bagian yang sangat kecil dari konteks yang dipantau oleh Komnas Perempuan.
"Kekerasan berbasis ideal kekerasan berbasis gender ini adalah kekerasan yang ditujukan terhadap seorang perempuan, karena ia perempuan atau yang mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional termasuk tindakan yang menimbulkan kekerasan atau penderitaan fisik mental atau seksual ancaman tindakan tersebut pemaksaan dan perampasan kebebasan lainnya," terang Siti.
Ia menambahkan, sejak 25 November sampai 10 Desember 2022 sedang berlangsung 16 hari kampanye Anti kekerasan terhadap perempuan. Selanjutnya, Komnas Perempuan secara perlahan menggunakan atau mengganti istilah kekerasan terhadap perempuan menjadi kekerasan berbasis gender terhadap perempuan sebagai anak rekomendasi komite PBB Nomor 35 Tahun 2017. (*)