Bahas Soal MHA, APHA Indonesia Gelar Webinar Masyarakat AKUr

man-headphones

APHA Indonesia Gelar Webinar Masyarakat AKUr.

CN, JAKARTA - Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia kembali membahas persoalan yang tengah dihadapi Masyarakat Hukum Adat serta hak-hak ulayatnya. Melalui webinar dengan mengangkat tema Konflik Tanah Adat Masyarakat Adat Karuhun Urang (Masyarakat AKUr) Krisis Pengakuan Hak Ulayat yang digelar APHA, ada beberapa persoalan contoh yang diangkat.

Webinar tersebut dihadiri :
1. Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum, Ketua Komisi Yudisial RI.
2. Prof Dra. Sulistyowati Irianto, M.A, Guru Besar Fakutas Hukum Universitas Indonesia/Dewan Pembina APHA.
3. Dr. Winanto Wiryomartani. SH. MHum, Wakil Ketua Majelis Pengawas Pusat Notaris.
4. Yamin, SH, SS, MHum, Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum APHA.
5. Urip Haryanto, Ketua Presidium Poros Nusantara.
6. Juwita Djatikusumah Girang Pangaping Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan. Moderator: Dr. St. Laksanto Utomo, SH, MHum, Ketua Umum APHA Indonesia.

"APHA menilai konflik masyarakat adat akan terus terjadi selama pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kurang  serius melakukan pembahasannya dan segera mengesahkan menjadi UU Masyarakat Hukum Adat," ucap Ketua Umum APHA Laksanto Utomo, Rabu (8/6/2022).

Belum lama ini, terjadi konflik di desa Cigugur Jawa Barat yang dikenal dengan nama Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR), memiliki aliran kepercayaan bernama Sunda Wiwitan. Dalam konflik pertanahan dengan pengusaha itu, Putusan Pengadilan mengalahkan Masyarakat Adat Karuhun, meskipun mereka berpuluh-puluh tahun sudah menduduki dan menguasai tanah tersebut. Hal itu terjadi karena para hakim yang menanganinya, kurang faham terhadap masyarakat hukum adat. Oleh karena itu, APHA meminta Presiden Joko Widodo dan DPR serius melakukan pembahasan RUU MHA menjadi UU MHA.

Djaka Rumantaka, keturunan pendiri Masyarakat AKUR yang menuntut tanah itu merupakan bagian waris miliknya dari Ibunya, Ratu Djenar Alibassa. Objek sengketa merupakan tanah dan bangunan di Blok Mayasih RT/RW 29/10 Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan yang ditinggali oleh E. Kusnadi yang dikenal sebagai abdi dalem, sekaligus seniman masyarakat AKUR.

Sejak Tahun 2010 Pengadilan Negeri (PN) Kuningan sudah memerintahkan eksekusi lahan, namun gagal, setelah ditolak masyarakat penghayat Sunda Wiwitan di sana. April tahun 2017, PN Kuningan kembali memerintahkan melakukan eksekusi, setelah putusan Peninjauan Kembali (PK) memenangkan pihak penggugat. MA memenangkan alasan pihak penggugat yang menganggap persoalan ini semata sengketa waris keluarga.

Seiring dengan kemenangan pihak Raden Djaka Rumantaka itu, pihak E. Kusnadi dan Kesatuan Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan mengajukan gugatan perlawanan dari tingkat pertama sampai tingkat kasasi dan keluarlah putusan Mahkamah Agung Nomor: 2394 K/Pdt/2010 hasilnya pun menolak permohonan dengan pertimbangan sudah tepat putusan yang diberikan oleh PT yang menguatkan PN. Hal itu bukti bahwa Hakim yang menangani perkara, kurang menguasai Hukum Adat.

APHA menyebut semakin menguatkan alasan pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Selama RUU itu belum disahkan, persoalan seperti ini dikhawatirkan akan terulang kembali pada masyarakat adat lainnya di Indonesia.

Kondisi itu miris terjadi di wilayah Indonesia yang terkenal dengan kekayaan sumberdaya alamnya. Negara dengan hukum positifnya terlihat jelas berpihak kepada pemilik modal dan melupakan masyarakat adat. Akar permasalahan terjadi konflik yang terjadi  disebabkan oleh ketidakpastian pengakuan terhadap MHA, ketiadaan batas-batas hak ulayat terutama Hak Ulayat Laut serta yang banyak terjadi adalah perseteruan antara legalitas dengan legitimasi.

Lebih lanjut Laksanto Utomo mengatakan konflik yang berakar pada perseteruan antara legalitas dengan legitimasi sangat jelas bahwa pada proses penyelesaian sengketanya akan banyak berpihak pada legalitas, dimana perusahaan dan pemilik modal sebagai pemegang legalitas dari pemerintah akan dapat menyingkirkan hak ulayat MHA. (*)

Terpopuler

To Top