CN, JAKARTA - Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia atau APHA Indoneaia, mengadakan Webinar yang diselenggarakan oleh LITBANG APHA Indonesia dengan beberapa Pembicara Beberapa Prof. yang tersebar di Indonesia, terutama Dosen Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan Marthen B Salinding memaparkan hasil risetnya terkait hukum waris Adat Toraja.
Menurut Marthen, Sistem Kewarisan Masyarakat Toraja, sebagai masyarakat yang menganut sistem kekerabatan Parental, atau Bilateral. Masyarakat Toraja menganut sistem kewarisan individual dan SIstem kewarisan Kolektif.
"Semua anak yang lahir dalam perkawinan yang sah menurut Adat, baik anak laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama terhadap harta waris," ujar Marthen dalam Webinar, Sabtu (6/2/2021).
Harta Warisan Masyarakat Toraja yaitu, Mana' (harta pusaka), yaitu warisan yang mempunyai nilai magis religious, Daka' tang disibali (harta asal/harta bawaan), Torakna rampanan kapa (Harta pencarian bersama).
"Peralihan Harta Waris dua cara yaitu bisa dilakukan pada saat pewaris masih hidup dan bisa pada saat pewaris telah meninggal," paparnya.
Hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan rumus, tetapi didasarkan atas pertimbangan mengingat wujud benda dan kebutuhan waris bersangkutan.
Untuk ahli waris yaitu, anak Disibali, (anak yang lahir dari perkawinan yang sah menurut adat). Anak Tangdisibali (anak yang lahir diluar ikatan perkawinan). Anak tangdisibali ada dua jenis taitu, Anak Pangngan adalah anak yang lahir diluar perkawinan yag sah, tetapi diakui oleh ayahnya Anak Pangngan hanya berhak atas harta asal dan harta pembujangan orang tuanya.
Anak Bule' adalah anak yang lahir dari seorang perempuan yang tidak diketaui siapa ayah biologisnya/tidak diakui ayah biologisnya. Hanya berhak atas harta asal dan harta pembujangan ibunya. Juga, Anak angkat. Anak angkat bisa diambil dari keluarga dekat bisa juga dari kalangan orang lain.
Mengangkat anak dapat dilakukan pada saat anak masih kecil dan bisa juga dilakukan pada saat anak sudah besar atau dewasa.
"Anak angkat berkedudukan sebagai ahli waris terhadap orang tua angkatnya. Dan sekaligus berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, disebut dengan To Ma'dua Bubun Massaruran Patomali. Ma' dua bubun artinya mempunyai dua sumur, sedangkan Massaruran Patomali artinya menerima aliran dari dua arah," ungkap Marthen.
Sementara itu, untuk Hukum Waris Adat Batak Toba dan Karo, disampaikan Rosnidar Sembiring, Guru Besar Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
Sejumlah yurisprudensi MA telah menyatakan, bahwa anak perempuan serta janda dalam kekeluargaan patrilineal berhak mewaris atas harta ayahnya maupun mendiang suaminya.
Kedudukan anak perempuan Batak dianggap setara dengan anak laki-laki. Perubahan yang dicetuskan oleh beberapa yurisprudensi tidak mutlak diterima karena, dianggap merendahkan posisi keturunan laki-laki, Padahal anak laki-laki dipercayai tanggung jawab besar sebagai penerus klan keluarga ayahnya.
"Dianggap menjungkir balikkan tatanan hidup warga adat Batak yang telah sekian lama diyakini dan dijalankan dari nenek moyang," pungkas Rosmidar. (*)
APHA Indonesia Gelar Webinar Hukum Waris Adat
Minggu, 07 Februari 2021 , 11:31:00 WIB
foto: istimewa