CN, Jakarta - Maraknya kasus-kasus kekerasan seksual pada anak, membuat Kementerian Sosial harus bertindak lebih antisipatif. Melalui program “Sakti Peksos Goes To School”, Kementerian Sosial kini memilih jemput bola.
Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) yang bertugas melakukan pendampingan kepada anak, kini diarahkan untuk masuk ke sekolah. “Di sekolah, mereka memberikan edukasi, bagaimana agar anak bisa terhindar dari kekerasan seksual,” kata Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Edi Suharto, di Jakarta, Senin (21/10/2018).
Kepada anak-anak, Sakti Peksos memberikan penjelasan dengan bahasa yang mudah dipahami anak-anak tentang apa itu kekerasan seksual, apa saja jenisnya, ciri-ciri pelaku kekerasan, situasi apa saja yang bisa memicu terjadinya kekerasan seksual, dan bagaimana mereka menghindarinya.
“Sehingga dengan demikian, anak-anak punya _self-resilience_ (ketahanan diri),” kata Edi. Selain itu, Kementerian Sosial juga mengembangkan program Temu Penguatan Anak dan Keluarga (Tepak). Program ini lebih memberikan sentuhan pada lingkungan terdekat anak, khususnya keluarga.
“Selain anak, keluarga dekat terutama orangtua juga kita edukasi. Tujuannya supaya keluarga bisa mengenali bahaya yang mengancam anak. Seperti mengenali tipe-tipe, karakteristik kekerasan, dan pelaku atau predator seks,” kata Edi.
Dengan Tepak, fungsi keluarga sebagai sarana pengasuhan dan perlindungan anak diperkuat. Misalnya mendudukan paradigma yang benar tentang pengasuhan orangtua terhadap anak, peningkatan kesadaran masyarakat, penguatan tanggung jawab orangtua/keluarga dan perlindungan anak dari berbagai tindak kekerasan serta mekanisme pemenuhan kebutuhan dasar anak.
Edukasi dan sosialisasi melalui Tepak dilakukan dengan melibatkan sekolah, pendamping, Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), juga termasuk melalui perangkat pemerintah di desa atau kelurahan. “Semua langkah ini tujuannya supaya anak memilki imunitas sosial. Anak dan keluarga memiliki daya tahan terhadap ancaman kekerasan anak, termasuk kekerasan seksual,” kata Edi.
Tepak juga relevan mengingat sejumlah studi menunjukkan bahwa ancaman terbesar terhadap anak justru datang dari lingkungan terdekat. Hal ini terjadi salah satunya disebabkan berkurang bahkan hilangnya fungsi keluarga sebagai tempat pengasuhan, pendidikan, pemeliharaan, pembinaan, perlindungan dan tumbuh kembang anak sesuai amanat UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
“Penyelenggaraan Tepak merupakan bagian dari upaya mewujudkan kembali keberfungsian sosial dalam keluarga. Jadi selain anak sendiri, keluarga juga diberikan penguatan,” kata Edi.
Pernyataan Edi merespon perkembangan kasus-kasus kekerasan anak yang terjadi khususnya di Lombok. Dari data yang tercatat di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RSPA) Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Paramitha Mataram, angka anak korban kekerasan seksual – khususnya dari keluarga dekat, cukup tinggi.
Angka anak sebagai korban yang mendapat penanganan RSPA jumlahnya bervariasi setiap tahun, tapi paling tinggi pada tahun 2016 yakni mendekati angka 200. "Dari jumlah ini, sebanyak 90 persen adalah korban kekerasan seksual," kata Ketua RSPA dan Kepala Seksi BRSAMPK Paramita Mataram Agnes Rosalia.
Pada tahun 2017, angkanya bergerak turun sedikit mencapai 150-an orang. Agnes tidak memiliki data mengapa terjadi penurunan, apakah tidak terlaporkan atau apakah karena kasusnya memang menurun. "Untuk tahun 2018 sampai dengan bulan Oktober, angkanya mencapai 85 orang. Statistik ini yang terlaporkan kepada kami. Angka sesungguhnya bisa jadi lebih besar. Karena ini kan seperti fenomena gunung es,” katanya.
Ancaman nyata kekerasan seksual anak dari keluarga dekat, sangat mengkhawatirkan di Mataram. Pada tahun 2016, misalnya, Agnes menyebutkan bahwa angka kekerasan seksual dari ayah kandung mencapai 27 kasus. Pelaku lain adalah dari ayah tiri, sepupu, paman, atau kakak adik.
“Tahun ini, 2018, inses dengan ayah kandung sebanyak 8 orang. Jumlah total dengan keluarga dekat sekitar 20-an. Yang termuda usia 12 tahun. Anak ini ditinggal ibunya bekerja sebagai tenaga kerja asing, lalu ayahnya melakukan kekerasan,” kata Agnes. Dari jumlah ini yang hamil sebanyak lima orang.
Menurut Agnes, faktor yang dominan dari kasus-kasus kekerasan seksual ini, adalah faktor sosial. Selain anak-anak terpapar pornografi dari internet, faktor kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah.
Budaya lokal juga ada kontribusi. Misalnya budaya merari. Dimana pasangan muda yang saling suka lalu melarikan anak perempuannya, dan menikahinya. “Nah sebaiknya, ada kesadaran pada masyarakat agar tidak dinikahkan. Jadi ini tugas budayawan untuk membangun pemahaman,” katanya.
Sejauh ini, RSPA sudah menjalin kerja sama dengan berbagai pihak termasuk dengan pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat untuk menekan angka kekerasan seksual pada anak.