CN, Jakarta - Alat ukur letak geografis dapat digunakan untuk memahami sebuah kejahatan yang berulang, dan membantu mengurangi korban konflik manusia-harimau. Kemarin para ilmuwan mempublikasi hasil penelitian mereka, yang membantu menjelaskan bagaimana penduduk desa di Sumatera hidup berdampingan dengan harimau.
Alat ukur ini jika digunakan diharapakan mampu menanggulangi perburuan harimau hingga setengahnya, terutama guna menyelamatkan harimau dari perburuan dan pembunuhan balas dendam.
Penelitian ini menggabungkan pendekatan multidisiplin,antara ekologi spasial dan ilmuwan social dalam membantu memprediksi di mana intervensi konflik manusia-harimau bias menjadi yang paling efektif. Meskipun risiko menghadapi harimau umumnya lebih besar di sekitar desa-desa berpenduduk dekat hutan atau sungai, profil geografis mengungkapkan tiga wilayah di mana risiko sangat tinggi.
'Memahami toleransi manusia adalah kunci untuk mengelola spesies berbahaya dan sangat penting bagi harimau. Ketika dikombinasikan dengan peta risiko pertemuan kami, informasi tentang toleransi orang terhadap satwa liar membantu kami mengarahkan sumber daya konservasi ketempat yang paling dibutuhkan. Ini bias berarti penghematan biaya yang signifikan dalam hal hewan hilang atau dana yang dibelanjakan, jadi bias sangat berguna dalam konservasi," kata Dr. Struebig yang mejadi penulis pertama pada jurnal terkemuka dunia tersebut.
Penelitian ini juga menarik, karena mengungkap tentang toleransi manusia terhadap harimau terkait dengan sikap, emosi, norma, dan kepercayaan spiritual mereka.
“Riset ini menunjukkan pentingnya kolaborasi disiplin ilmu,karena menggabungkan berbagai pasangan data yang mencakup data social dan ekologi yang menjadi pendekatan bermanfaat untuk mengurangi konflik manusia dan satwa. Pendekatan multi disiplin seperti ini, penting untuk mencegah kepunahan pada satwa yang dilindungi.” ujar Dr Fachruddin Mangunjaya, dari Universitas Nasional, salah seorang co-Author dalam publikasi tersebut.
Jurnal ini ditulis atas kolaborasi dari 12 orang ilmuwan dan ahli dari Inggris dan Indonesia, antara lain: Matthew Struebig, Nicolas Deere, and Jeanne McKay, dari University of Kent; Matthew Linkie, Wildlife Conservation Society Indonesia; Betty Millyanawati, Fauna & Flora International Indonesia; Fachruddin Mangunjaya, Universitas Nasional (UNAS); Sally Faulkner and Steven Le Comber, Queen Mary University of London; Nigel Leader-Williams, University of Cambridge; and Freya St. John, University of Kent and Bangor University.
Penelitian mengatasi konflik manusia-harimau menggunakan informasi sosio-ekologis tentang toleransi dan risiko yang mengancam harimau membuktikan pentingnya penelitian interdisipliner pada konflik dalam aktifitas konservasi. Penelitian ini menghasilkan tiga buah publikasi yang dipublikasikan di Jurnal Internasional dengan sudut pandang berbeda-beda.
Penelitian ini mencacah 2.386 responden di Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi dan menggabungkan analisis spasial risiko perjumpaan dengan harimau dengan informasi tentang toleransi untuk mengungkapkan penyebab konflik manusia-harimau. Disamping itu penelitian ini menggunakan 13 tahun catatan perjumpaan manusia-harimau, dan profil geografis - teknik yang biasanya digunakan di seluruh dunia untuk menangkap kejahatan yang berulang terhadap satwa.
Harimau berada di ambang kepunahan karena deforestasi dan dianiaya manusia. Spesies ini sangat terancam, namun mereka juga menimbulkan ancaman terhadap public. Namun, di Sumatra harimau terus hidup berdampingan dengan manusia,hal ini sangat berbeda dengan di tempat lain. Jutaan dan konservasi dihabiskan setiap tahun untuk mengurangi risiko konflik menghadapi harimau, dan mengurangi kerugian ternak dari petani setempat.
Perburuan Harimau Dapat Dicegah Dengan Memahami Geografi Konflik
Senin, 27 Agustus 2018 , 10:30:00 WIB